Web Search

Kamis, 26 Mei 2011

Kronologia Negosiasi Laut Timor

1999-2001 30 Agustus 1999: Kebanyakan rakyat Timor-Leste2002 21 Maret 2002: Australia secara rahasia menarik diri dari proses internasional untuk menyelesaikan sengketa perbatasan laut berdasarkan Hukum Laut (UNCLOS) dan Mahkamah Pengadilan Internasional. Selain memperlihatkan bahwa Canberra mengetahui argumen hukumnya lemah, tindakan ini mencegah Timor-Leste untuk membawa sengketa ini ke penengah pihak ketiga yang tidak memihak, membuatnya terpaksa mengandalkan pada perundingan-perundingan yang sifat dasarnya tidak setara.
1970: Australia dan Indonesia mulai mengadakan perundingan mengenai perbatasan dasar laut, tanpa
mengindahkan keberatan Portugis bahwa dasar laut hendaknya perbatasannya ditetapkan di tengah antara
Timor dan Australia. Australia dan Indonesia menandatangani kesepakatan “Menetapkan Perbatasan Dasar
Laut Tertentu” pada tanggal 18 Mei 1971 dan 9 Oktober 1982, yang berlaku pada bulan November 1973. (Peta1). Perjanjian-perjanjian tersebut didasarkan pada prinsip landas kontinental, yang tidak adil menguntungkan Australia. Karena Portugal tidak mengambil bagian dalam perjanjian ini, kedua negara lainnya tidak bisa menyelesaikan garis antara Timor Portugis dan Australia, sehingga terciptalah “Celah Timor.” 1975: Ladang minyak dan gas Greater Sunrise ditemukan. 7 Desember 1975: Indonesia menyerbu Timor-Leste. 1978: Australia mengakui “fakta” pencaplokan Indonesia atas Timor-Leste. 1979: Australia memberikan pengakuan hukum pada pendudukan Indonesia, yang membuka jalan bagi Australia untuk berunding dengan Indonesia mengenai perbatasan laut untuk menutup Celah Timor. Selama sepuluh tahun selanjutnya, Australia dan Indonesia berusaha merundingkan satu perbatasan dasar laut di sebelah selatan Timor-Leste, menyelenggarakan lebih dari belasan putaran perundingan. Meskipun negaranegara itu tidak bisa bersepakat mengenai perbatasan dasar laut untuk menutup Celah Timor, mereka akhirnya membuat satu pengaturan untuk berbagi pendapatan minyak. 11 Desember 1989: Australia dan Indonesia menandatangani
Perjanjian Celah Timor di sebuah kapal terbang yang terbang di atas Laut Timor. Perjanjian ini menetapkan satu Zona Kerjasama (ZOC – Zone of Cooperation) antara Timor-Leste dan Australia (kemudian disebut JPDA), di sebelah utara garis tengah. Perjanjian ini menetapkan Indonesia-Australia melakukan eksplorasi bersama pada wilayah yang diduduki secara ilegal itu, dengan pendapatan dibagi 50-50. Perjanjian ini telah diratifikasi dan berlaku mulai tanggal 9 Februari 1991. (Peta 1) 11 Desember 1991: Australia dan Indonesia memberikan kontrak bagi produksi kepada Phillips Petroleum (yang kemudian menjadi ConocoPhillips), Royal Dutch Shell, Woodside Australian Energy (kemudian menjadi Woodside Petroleum), dan perusahaan-perusahaan lain untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber alam di Zona Kerjasama Celah Timor. Kontrak-kontrak terus diberikan, dan eksplorasi berlanjut, sepanjang dasawarsa 1990-an. Beberapa ladang ditemukan pada tahun 1994 dan 1995, dengan produksi dimulai pada 1998 di Elang-Kakatua di dalam JPDA, dan pada 1999 di Laminaria-Corallina tepat di luar ZOC. (Peta 1) 14 Maret 1997: Australia dan Indonesia menandatangani satu perjanjian meliput perbatasan kolom air tetapi tidak mencakup sumberdaya dasar laut, di bawah prinsip garis tengah yang ditetapkan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut tahun 1982. Karena pendudukan Indonesia terhadap Timor- Leste berakhir, perjanjian ini tidak pernah disahkan.
memberikan suara menolak integrasi dengan Indonesia. Oktober 1999: Tujuh perusahaan minyak dipimpin oleh Phillips Petroleum menyepakati pengembangan ladang gas dan minyak Bayu-Undan, di dalam ZOC.
November 1999: Proyek-proyek perusahaan Woodside di Laminaria-Corallina mulai memproduksi minyak.
Sejak itu perusahaan-perusahaan mengambil hampir seluruh cadangan, menghasilkan lebih dari US$ 1,3
milyar untuk pemerintah Australia. Sebagian atau semua pendapatan ini berdasarkan prinsip Hukum Laut
PBB adalah milik Timor-Leste. Perjanjian CMATS 2006 menandai berakhirnya protes-protes Timor-Leste
mengenai pencurian sumber alamnya ini. 10 Februari 2000: Australia dan UNTAET menandantangani
Nota Kesepahaman sementara, untuk melanjutkan ketentuan-ketentuan Perjanjian Celah Timor Australia-
Indonesia tetapi menggantikan Indonesia dengan Timor-Leste. Kesepakatan ini menyebutkan pembagian
50-50 antara Australia dan Timor-Leste produksi minyak dan gas dari Wilayah Pengembangan Minyak
Bersama (yang dinamakan Zona Kerjasama dalam Perjanjian Celah Timor). Oktober 2000: UNTAET memulai perundingan dengan Australia untuk mendapatkan kesepakatan mengenai pembagian sumber alam Laut Timor untuk jangka waktu yang lebih lama, tetapi tidak mengenai perbatasan laut atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada bulan April 2001 Australia mengulangi lagi bahwa tidak akan merundingkan  perbatasan laut resmi di Laut Timor.  5 Juli 2001: UNTAET dan Mari Alkatiri menandatangani Kesepakatan Laut Timor dengan Australia. Menurut Kesepakatan ini, yang menggantikan Nota Kesepahaman Februari 2000, Timor-Leste akan mendapatkan 90% dan Australia 10% dari pendapatan minyak dan gas dari JPDA. JPDA mewarisi ZOC dari Perjanjian Celah Timor 1989, yang hanya mengubah pembagian pendapatan. Ladang gas terbesar, Greater Sunrise, dinyatakan 20% terketak di dalam JPDA dan 80% di dalam wilayah Australia.


bahwa pemerintah Timor-Leste akan memperoleh US$ 14 milyar dari ladang Greater Sunrise untuk 40-50 tahun selanjutnya, Australia akan memperoleh sama besarnya atau lebih besar. Walaupun ladang Sunrise telah ditemukan pada tahun 1975, pengembangannya terhenti selama beberapa tahun karena sengketa perbatasan (lihat kronologi halaman 4). Operator Sunrise, Woodside Petroleum menunda semua kerjanya pada akhir 2004, dan menunggu Perjanjian CMATS diratifikasi sebelum melanjutkan proyek ini.
Jika Woodside dan mitra-mitranya (ConocoPhillips, Shell, dan Osaka Gas) memutuskan membangun jalur pipa ke Timor-Leste untuk mencairkan gas Sunrise di sini untuk dikapalkan ke konsumen luar negeri, ini bisa meningkatkan penghasilan dan menaikkan tingkat perekonomian lokal Timor-Leste, membantu mendorong pengembangan ekonomi bangsa ini. Keputusan ini akan dibuat pada beberapa tahun mendatang, dan Timor-Leste dan Wilayah Utara Australia sama aktif mengkampanyekan proyek ini. Pemerintah Australia dan Timor-Leste memuji Perjanjian CMATS sebagai satu keberhasilan besar.
Meskipun pejabat-pejabat Australia mengatakan bahwa perjanjian ini memperlihatkan kebaikan hati Australia kepada tetangganya di utara yang miskin, para pejabat Timor-Leste menyebutkan bahwa Australia juga mendapatkan keuntungan yang besar dari Perjanjian ini, mencakup US$ 2 milyar pajak penghasilan dari kilang LNG Darwin (untuk Bayu-Undan) dan US$ 2,5 milyar dari ladang-ladang yang sebelumnya disengketakan. Manuel de Lemos dari  Kantor Laut Timor RDTL mengatakan bahwa “Tidak benar
menggolongkan hasil dari perjanjian ini sebagai suatu sikap ‘sangat murah hati’ dari pihak Australia. Sumberdaya yang dipertaruhkan dalam perjanjian-perjanjian ini diklaim berdasarkan hukum internasional.”
Selain pendapatan minyak dan gas, Timor-Leste mengaku bahwa banyak dari kalangan masyarakat sipil
percaya bahwa masalah pentingnya adalah kedaulatan nasional, menerima pendudukan maritim ilegal Australia yang merupakan kelanjutan pendudukan brutal Indonesia terhadap wilayah Timor-Leste dengan menunda suatu proses untuk menetapkan perbatasan laut sampai semua minyak dan gas di wilayah yang disengketakan telah habis diambil dan dijual. Sebagian orang dalam pemerintah Timor-Leste telah mengungkapkan kekhawatiran mengenai kemungkinan campur tangan Indonesia dalam perundingan perbatasan laut dengan Australia, yang bisa merupakan satu faktor dalam penandatanganan suatu perjanjian pada waktu ini. Akan tetapi, Timor-Leste dan Indonesia masih harus menyelesaikan perbatasan laut mereka, dan Perjanjian CMATS (lihat “hak menangkap ikan” halaman 9) meninggalkan beberapa pertanyaan yang terbuka untuk perundingan itu. Lebih jauh, meragukan bahwa Indonesia bisa secara legal melakukan campur tangan dalam perundingan Australia-Timor-Leste, karena Indonesia dan Australia telah menetapkan perbatasan dasar laut pada tahun 1972, dan semua wilayah yang dibahas dengan Australia  telah diserahkan oleh Indonesia pada waktu itu.
Kronologi Negosiasi Laut Timor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Pengikut